wartapena.com. Menkominfo Rudiantara bersama Komisi I DPR mengadakan rapat bersama guna membahas revisi UU ITE di ruang rapat Komisi I, Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (14/3/2016). Fokus revisi adalah soal pasal 27 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disingkat UU ITE). Wakil pemerintah mengatakan sanksi pasal 27 ayat (3) UU ITE terlalu berat karena ancaman hukumannya maksimal 6 tahun penjara, karena itu pemerintah mengusulkan diturunkan menjadi 4 tahun. Hal ini perlu dilakukan agar nitizen tenang dalam berinteraksi di dunia maya.
Memang, Pasal 23 ayat (3) UU ITE menjadi momok yang menakutkan para nitizen. Maklum saja, dengan ancaman hukuman 6 tahun, berarti memenuhi syarat untuk dapat dilakukan penahanan bagi masyarakat yang melanggarnya. Di samping itu, pasal 23 ayat (3) UU ITE ini dapat dengan mudah dijadikan alat penguasa (aparat penegak hukum) untuk memenjarakan orang (masyarakat).
Di masa sekarang ini, internet memang menjadi media yang mudah bagi masyarakat untuk saling berinteraksi, saling mengutarakan pendapatnya, baik itu melalui facebook, twitter, mailis, email, dsb. Namun demikian, kemudahan berinteraksi ini sudah barang tentu memungkinkan terjadinya gesekan-gesekan (baca: ketersinggungan) yang menimbulkan permasalahan. Dan, ketika permasalahan itu dibawake ranah hukum, maka menjadi pertanyaan kemudian: bagaimana hukum mengatur perkembangan dunia teknologi dengan segala dampak yang ditimbulkannya?
Dengan menggunakan pasal-pasal KUHP untuk menjerat pelaku pencemaran nama baik melalui internet, oleh sebagian ahli hukum dinyatakan KUHP tak dapat diterapkan, namun sebagian ahli hukum lain menganggapnya KUHP dapat menjangkaunya. Akan tetapi, terlepas dari perdebatan itu, yang jelas Mahkamah Konstitusi (MK) ketika memberikan putusan terhadap permohonan judicial review Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa secara harfiah bahwa unsur di muka umum, diketahui umum, atau disiarkan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP tidak dapat diterapkan dalam dunia maya, sehingga memerlukan unsur ekstensif yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pada intinya, MK menyatakan bahwa Pasal-Pasal tertentu dalam KUHP dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di dunia maya.
Kaidah hukum Pencemaran Nama Baik itu tak hanya diakomodir oleh KUHP tapi juga produk hukum di luar KUHP yaitu UU ITE. Oleh sebab itu, jika merujuk pada putusan MK, maka dalam hal pencemaran nama baik melalui internet, hukum yang digunakan untuk menyelesaikannya adalah UU ITE, bukan KUHP.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan: ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Pasal 28 ayat (2) UU ITE menegaskan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras, agama, dan antargolongan”.
Apabila masyarakat melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, maka sanksinya adalah Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang berbunyi: ”Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan pelanggar Pasal 28 ayat (2) UU ITE sanksi hukumannya diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE: ”Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsur-unsur dari Pencemaran Nama Baik Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah:
- setiap orang;
- dengan sengaja;
- tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik;
- memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Yang dimaksud unsur sengaja atau kesengajaan di sini adalah orang itu memang mengetahui dan menghendaki informasi yang mengandung pencemaran itu tersebar untuk merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
Namun demikian, belum dapat dikategorikan pencemaran nama baik sesuai Pasal 27 ayat (3) UU ITE apabila unsur selanjutnya tidak terpenuhi. Oleh karenanya, harus dilihat pula unsur ”tanpa hak mendistribusikan”. Sehingga, harus ada unsur kesengajaan dan unsur tanpa hak mendistribusikan, yang kedua unsur tersebut bersifat kumulatif.
Jadi, unsur ”tanpa hak mendistribusikan” ini dapat ditafsirkan: bahwa informasi yang mengadung pencemaran itu sengaja disebarluaskan atau didistribusikan ke semua orang, seperti ke berbagai mailis dan bukan hanya terbatas ke teman-teman. Akan tetapi, jika menyebarkan informasi yang dimilikinya hanya ke teman-teman sendiri, maka itu artinya ia memang memiliki hak.
Pertanyaannya: bagaimana jika ia hanya mem-forward email atau meneruskan/mendistribusikan informasi yang didapat dari teman ke teman lainnya?
Untuk kasus semacam ini, maka tanggung jawab distribusi hanya sampai ke teman yang dikirimkannya saja. Dan, oleh karenanya, ia tidak dapat terjerat pasal pencemaran nama baik menurut UU ITE.
Dengan demikian, pengertian distribusi itu ada distribusi dalam artian luas atau hanya memberi informasi ke teman-teman. Kalau seseorang memang sengaja menyebarkan informasi yang mengandung pencemaran itu ke mailis A, B, C dan mengirim ke semua orang — bukan hanya teman, maka orang itu telah “tanpa hak mendistribusikan” informasi bermuatan pencemaran.
Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE ini memang menimbulkan kontroversi. Bahkan, pasal ini dinilai sebagai pasal karet atau hatzaai artikelen gaya baru. Tak hanya itu saja, pasal ini juga dinilai lebih kejam ketimbang pasal pencemaran nama baik dalam KUHP, karena adanya disparitas yang cukup besar dalam hal sanksi hukumannya. Coba saja simak, untuk sanksi pidana, ternyata hukuman di UU ITE yang notabene buatan bangsa sendiri tidak tanggung-tanggung yaitu maksimal 6 tahun penjara, dan angka maksimal ini merupakan salah satu syarat orang bisa ditahan terlebih dahulu dalam proses penyidikan. Karena, syarat seorang dapat ditahan di proses penyidikan, salah satunya adalah jika ancaman hukumannya di atas 5 tahun. Kini, coba bandingkan dengan ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP yang notabene produk kolonial Belanda, ancaman hukumannya maksimum 4 tahun penjara, bahkan Pasal 310 KUHP hanya memberikan ancaman hukuman 9 bulan penjara. Jadi, dengan substansi tuduhannya sama, namun dalam UU ITE sanksi hukuman yang diberikan lebih berat ketimbang KUHP.
Padahal, dalam ketentuan Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan penghinaan atau pencemaran nama baik. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah telah dipenuhinya unsur pencemaran nama baik dalam UU ITE harus pula merujuk Pasal 310 KUHP.
Selain itu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini dinilai tumpang tindih dengan Pasal 310 dan 311 KUHP. Dan, yang lebih mengkhawatirkan lagi, pasal tersebut juga mudah untuk dikomersialisasikan. Karena, pasalnya terlalu umum dan multitafsir. Tengok saja, di dalam KUHP mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik diberikan definisinya, sedangkan UU ITE hanya menyebut penghinaan tanpa menjelaskannya, sehingga pasal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal, untuk memahami pasal pencemaran nama baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE itu tak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310 dan 311 KUHP.
Dengan adanya sifat multitafsir dalam Pasal Pencemaran Nama Baik di Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini, menyebabkan pasal ini dapat dijadikan “main-mainan” oleh aparat penegak hukum untuk menjerat dan memenjarakan seseorang.
Namun demikian, catatan penting dari putusan MK terkait judicial review Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang cukup melegakan adalah jawaban terhadap ketidakjelasan kategorisasi delik. Jika kita buka Pasal 27 ayat (3) UU ITE nyatanya tidak menjelaskan apakah delik ini masuk dalam kategori Delik Aduan atau masuk dalam kategori Delik Biasa. Oleh sebab itu, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konsitusi menyatakan bahwa pada pokoknya masuknya Pasal 27 ayat (3) UU ITE kedalam Delik Aduan.
Jika kita tinjau lebih jauh mengenai nilai-nilai filosofis pasal pencemaran nama baik di UU ITE yang notabene produk bangsa sendiri ternyata masih bermuara pada Pasal 310 dan 311 KUHP yang merupakan produk penjajah Belanda, yang dapat dengan mudah dijadikan alat penguasa untuk memenjarakan orang. Bahkan, Pasal 21 ayat (3) UU ITE sanksi pidananya jauh lebih berat dari pasal penghinaan di KUHP. Oleh sebab itu, sudah waktunya pasal pencemaran baik di UU ITE segera direvisi menjadi lebih beradab. (wta)