Kesewenang-wenangan hukum, bahkan potret penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) telah dipertontonkan KPK dan Abraham Samad dalam menetapkan status tersangka Komjen Budi Gunawan (BG), hanya demi membatalkan pencalonannya menjadi Kapolri. Dari langkah KPK ini, tampaknya pimpinan KPK sudah masuk dalam ranah politik ketimbang menegakan hukum. Lantas, apakah KPK tidak pernah salah?
Yang menjadi alasan hukum KPK menetapkan status tersangka tanpa pernah memanggil dan memeriksa pelakunya adalah adanya transaksi yang mencurigakan. Pertanyaannya, apakah transaksi mencurigakan sudah merupakan perbuatan pidana, lebih khusus tindak pidana korupsi?
Bahwa yang disebut “TRANSAKSI MENCURIGAKAN” telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 15 Tahun 2002 junto UU No. 25 Tahun 2003 tentang TTPU yakni, salah satunya, “Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan.” Sekali lagi, yang menjadi pertanyaan kemudian: Apakah “transaksi mencurigakan” itu merupakan perbuatan pidana?
Masyarakat perlu paham, bahwa suatu “Transaksi Mencurigakan” belum atau bukan suatu perbuatan pidana, melainkan harus dibuktikan dulu perbuatan di balik adanya transaksi yang mencurigakan itu, sehingga tidak dapat seseorang dinyatakan oleh Pengadilan telah melakukan perbuatan pidana (korupsi) hanya berdasarkan adanya transaksi mencurigakan.
Atau dengan kata lain, tidak dapat seseorang dinyatakan sebagai tersangka telah melakukan tindak pidana korupsi hanya berdasarkan adanya transaksi mencurigakan tanpa pernah memeriksanya.
Seperti yang pernah dijelaskan Dr. Yunus Husein, mantan Ketua PPATK di persidangan Djoko Susilo, mantan Kakorlantas Polri, bahwa: “Transaksi mencurigakan” yang tidak sesuai dengan profil yang bersangkutan itu baru sebatas indikator. Bahwa tidak semua transaksi mencurigakan itu adalah tindak pidana, itu hanya men-trigger PPATK sebagai laporan saja.”
Memang, begitulah seharusnya. Adanya transaksi mencurigakan itu masih harus dibuktikan lagi. Oleh karenanya, ketika PPATK menemukan transaksi yang mencurigkan, PPATK akan menginformasikan (melaporkan) temuannya itu ke aparat penegak hukum yang selanjutnya melakukan penyelidikan. Untuk itu, dalam tahap penyelidikan, aparat penegak hukum (misalnya: KPK, Kepolisian atau Kejaksaan) akan memanggil pihak yang terindikasi memiliki transaksi mencurigakan untuk menjelaskannya (konfirmasi), berikut memanggil sejumlah saksi lainnya atau mengumpulkan alat bukti. Jadi, tidak ujug-ujug seseorang ditetapkan sebagai tersangka tanpa pernah memanggilnya, hanya karena ditemukan adanya transaksi yang mencurigakan.
Langkah overacting KPK yang memberikan status tersangka bagi BG tanpa pernah memanggil dan memeriksanya, terlepas dari benar tidaknya BG terindikasi korupsi, akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan merupakan potret dari kesewenang-wenangan hukum dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Mengapa?
Karena, bukan tidak mungkin langkah KPK ini bisa diikuti oleh aparat penegak hukum lainnya, seperti Kepolisian atau Kejaksaan, yang akan dengan mudahnya menetapkan seorang tersangka tanpa pernah memeriksanya hanya berdasarkan transaksi yang mencurigakan. Alhasil, terjadilah kesewenang-wenangan hukum dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang kasat mata di republik yang katanya Negara berdasarkan hukum ini.