WARTAPENA. Perseteruan KPK vs Polri memasuki babak baru. Calon Kapolri Budi Gunawan (BG) mengajukan gugatan praperadilan terkait penetapannya menjadi tersangka oleh KPK. Yang menjadi pertanyaan, apakah KPK, yang tidak memiliki kewenangan mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara), dapat membatalkan status tersangka seseorang?
Dalam konteks penetapan status tersangka calon Kapolri oleh KPK itu, pihak BG mengajukan praperadilan dengan KPK sebagai Termohon. Timbul pro kontra mengenai mekanisme pra peradilan ini. Namun, terlepas dari pro kontra, bahkan terlepas dari pihak memihak, terjadinya situasi seperti ini sekilas adalah merupakan kesalahan DPR yang melahirkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dengan tidak memberikan ruang pembatalan status tersangka, lantaran hal ini membuka celah KPK melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Akan tetapi, sesungguhnya, UU KPK telah memiliki mekanisme sendiri untuk, salah satunya, membatalkan status tersangka seseorang, hal mana diatur dalam pasal 63 UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK, yang tegas menyatakan:
Pasal 63
(1) Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang-Undang ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(4) Dalam putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan jenis, jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitasi dan/atau kompensasi yang harus dipenuhi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 63 UU KPK ini adalah gugatan rehabilitasi dan kompensasi – berbeda dengan gugatan praperadilan. Sayang memang, pasal 63 ini jarang digunakan dan tidak pernah disosialiasasikan, bahkan luput dari perhatian. Boleh jadi, karena ketika seseorang sudah dikenakan status tersangka, media selalu mem-blow up seolah tersangka sudah pasti bersalah dan percuma saja membela diri dengan melakukan gugatan rehabilitasi/kompensasi. Terlebih lagi, selama ini hakim “takut” untuk berlawanan dengan KPK, sehingga sering membenarkan tindakan-tindakan KPK.
Dari perspektif hukum, Pasal 63 UU KPK ini berbeda dengan pra peradilan sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, bahkan Pasal 63 ayat (2) UU KPK juga membuka ruang untuk dapat pula dijalankan pra peradilan, selain adanya gugatan rehabilitasi dan kompensasi sesuai mekanisme Pasal 63 UU KPK. Dengan demikian, ada dua cara yang dapat dilakukan: selain praperadilan, pun gugatan rehabilitasi dan kompensasi. Hanya saja, praperadilan bersifat sementara terkait dengan penyidikan, sedangkan gugatan rehabilitasi dan kompensasi Pasal 63 UU KPK, salah satunya, dapat mengubah status tersangka dan menghentikan penyidikan karena title gugatan adalah rehabilitasi dan kompensasi.
Alhasil, dalam kasus KPK vs Polri (Budi Gunawan), semestinya pihak BG dapat mengajukan gugatan rehabilitasi dan kompensasi untuk membatalkan status tersangkanya, bukan praperadilan. Dasar gugatan rehabilitasi dan kompensasi adalah dikarenakan KPK telah berbuat semena-mena dengan menetapkannya sebagai tersangka tanpa melalui proses pemeriksaan, terlebih lagi yang dijadikan dasar penetapan tersangka adalah perbuatannya terkait “transaksi mencurigakan” di dalam rekeningnya, padahal “transaksi mencurigakan” bukan (belum) merupakan perbuatan tindak pidana korupsi (lihat: “TRANSAKSI MENCURIGAKAN BUKAN (BELUM) MERUPAKAN TINDAK PIDANA”, https://wartapena.com/transaksi-mencurigakan-bukan-belum-merupakan-tindak-pidana/ )
Bagaimana seandainya gugatan pra peradilan yang sudah diajukan BG kandas? Sesuai mekanisme Pasal 63 UU KPK tersebut, maka BG dapat mengajukan gugatan kembali dengan menggunakan ketentuan Pasal 63 UU KPK tersebut, karena, sesuai hukum, mekanisme ini memang diperbolehkan oleh ketentuan Pasal 63 ayat (2) UU KPK. Dan, dalam gugatannya apabila kemudian dikabulkan pengadilan, BG dapat saja meminta KPK merehabilitasi nama baiknya dengan memasang iklan pengumuman 1 halaman di beberapa media massa. Apabila ini sudah merupakan perintah pengadilan, tentu KPK tidak dapat menolaknya.
Sayang memang, ketentuan Pasal 63 UU KPK ini tidak pernah disosialisasikan oleh KPK, sehingga masyarakat tidak pernah tahu atau tidak paham mengenai ketentuan yang dapat membuat KPK tidak dapat berbuat semena-mena (abuse of power) karena harus merehabilitasi nama baik seseorang bahkan memberikannya kompensasi atas kesalahan yang dibuatnya. (wta)