wartapena.com. Masalah finansial, tunggakan gaji pemain, dari beberapa klub yang berlaga di ISL (Liga Super Indonesia), selalu saja terjadi, berulang-ulang, dari tahun ke tahun. Ibarat keledai terantuk di lobang yang sama. Karena itu, perlu ada solusi yang melindungi periuk nasi para pemain sepak bola.
Boleh jadi, sistem yang ditawarkan ini bukan sesuatu yang baru. Tapi, yang jelas belum pernah dicoba oleh pengelola ISL. Caranya, kompetisi ISL perlu ditunda sesaat. Tak apa ditunda, demi kebaikan semua pihak. Setelah itu, PT ISL menawarkan kepada klub-klub yang ingin menjadi peserta ISL untuk membayar uang lisensi atau keikutsertaan sebesar Rp 9 milyar per tahun, misalnya. Uang itu sebagai jaminan likuiditas, termasuk syarat utama untuk sebuah tim yang akan ikut berlaga di ISL.
Uang Rp 9 milyar itu nantinya akan kembali kepada klub. Karena dari uang itulah nantinya ISL yang akan membayar gaji para pemain klub tersebut.
Jadi begini. PT ISL membuat aturan ambang batas gaji seorang pemain klub yang berlaga di ISL sebesar Rp 30 juta per bulan, dan setiap klub memiliki maksimal 25 pemain. Jadi, dengan rata-rata gaji pemain Rp 30 juta per bulan, maka klub harus menyediakan uang Rp 9 milyar per tahun untuk membayar gaji 25 pemainnya.
Lantas, bagaimana jika klub ingin mendatangkan pemain yang meminta gaji di atas Rp 30 juta, misalnya Rp 50 juta per bulan? Jika hal itu memang yang diinginkan klub, maka klub mesti pintar-pintar mengelola keuangannya dengan ISL, dalam arti klub memiliki jatah (kuota) gaji Rp 9 milyar setahun untuk 25 pemain, apabila ada pemain yang meminta gaji di atas ambang batas (di atas Rp 30 juta per bulan), maka harus ada pemain yang dibayar di bawah Rp 20 juta perbulan misalnya, hal ini untuk menutupi kuota gaji pemain tiap klub. Pendeknya, kuota seluruh gaji pemain yang harus dibayarkan ISL tidak lebih dari Rp 9 milyar untuk 25 pemain. Tinggal pintar-pintar klub mengatur jatah gaji pemainnya saja.
Bagaimana jika klub akan mendatangkan pemain yang meminta gaji Rp 100 juta per bulan, sehingga melewati kuota gaji pemain yang sudah dipatok ISL? Jawabannya adalah tanggungan klub, dalam arti: klub bisa meminta ISL membayar gaji pemain itu Rp 30 juta perbulan, sedangkan kekurangannya yang Rp 70 juta perbulan akan dibayar klub sendiri (ditanggung). Kendati demikian, ISL akan memberikan aturan main kepada klub yaitu dengan memberi batasan klub tidak boleh mendatangkan pemain yang gajinya melebihi ambang batas lebih dari 3 pemain. Hal ini agar keuangan klub tetap terjaga sehat.
Bagaimana mengenai gaji pelatih dan tim asisten pelatih? Hal ini diserahkan sepenuhnya kepada klub masing-masing untuk membayar besaran gaji pelatih dan timnya. Karena itu, meski sudah membayar lisensi Rp 9 milyar per tahun, tetap saja klub harus punya uang lebih dan cerdas mengelola keuangan, seperti untuk membayar pelatih dan tim pelatih, operasional, asuransi, bonus pemain, dll.
Lantas, apa tugas PT ISL terhadap klub? Keuangan ISL didapat dari sponsorship kompetisi (seperti dulu ada Liga Djarum, Liga Dunhill, yang bertindak sebagai sponsor, termasuk hak siar teve, dan potensi sponsor lainnya). Dari keuangan ISL itu, nantinya ISL yang akan menanggung seluruh biaya pertandingan, dari mulai sewa stadion, membayar honor wasit dan akomodasi, dan seluruh kelengakapan pertandingan lainnya.
PT ISL sebagai operator kompetisi akan memberikan pendapatannya kepada klub dalam bentuk: Pertama, klub akan mendapatkan 70% dari pendapatan tiket sebagai tuan rumah, sedangkan 15% pendapatan untuk tim tamu, sedangkan 15% untuk ISL sebagai penyelenggara pertandingan.
Kedua, klub akan mendapatkan pembagian dari sponsor kompetisi ISL dan hak siar televisi. Mengenai nilainya, tentu harus diatur sedemikian rupa agar terjadi win-win solution, dalam arti pembagian ini tidak merugikan klub maupun ISL sebagai operator kompetisi.
Jadi, dengan sistem ini, klub tidak akan dipusingkan dengan gaji pemainnya karena sudah dibayar di muka melalui PT. ISL. Klub-klub hanya memikirkan biaya perjalanan dan akomodasi, operasional klub, bonus pemain, gaji tim pelatih, manajer, dll. Dari mana biaya itu nantinya diperoleh klub? Ya, klub mesti pintar-pintar juga cari sponsor. Artinya, klub tetap diberi kebebasan untuk mencari sponsor sendiri.
Lantas, bagaimana jika PT ISL ternyata meleset atau tidak membayar gaji pemain klub? Untuk persoalan ini, memang harus ada pengawasan, dan hal itu bisa dilakukan melalui audit independen dari akuntan publik. Bila kegagalan membayar karena ditemukan adanya penggelapan dana (pidana), ya tinggal diproses secara hukum saja pelakunya biar jera.
Memang, sistem ini bisa berjalan asal ada kepercayaan dan akuntabilitas dari masing-masing pihak, baik PT ISL maupun klub. Kalau hal semacam itu tidak bisa dijaga, ya bubarkan saja kompetisi profesional sepak bola Indonesia. (wta)