wartapena.com. Ketika digelar kualifikasi Piala Eropa 2016, tak ada satupun yang menyangka Islandia bakal lolos, sama halnya seperti Leicester City juara Liga Inggris. Maklumlah, saat itu, Islandia berada di grup A bersama Belanda, Republik Ceko, Turki, Latvia dan Kazakhstan. Dan hebatnya lagi, Islandia menyingkirkan Belanda, dengan dua kali mengalahkannya.
Islandia memang sedang dilanda eforia. Betapa tidak. Timnas sepak bola Islandia untuk kali pertama lolos ke Piala Eropa. Prestasi yang sangat luar biasa. Mengingat, selama ini Islandia ibarat anak bau kencur di kancah sepak bola Eropa. Di ranking FIFA berada di urutan 131 pada 2012, dan setelah lolos kualifikasi Piala Eropa 2016, Islandia ada di peringkat 23.
Pasukan oranye Belanda harus tertunduk malu lantaran dua kali digasak Islandia, (0-1 dan 2-0). Bahkan Turki yang pernah menjadi juara ke-3 Piala Dunia 2002 di Korea Selatan, dipermalukan 3-0, meski dipartai tandang Turki berhasil membalasnya dengan kemenangan 1-0. Islandia menjadi runer up grup di atas Turki dan di bawah Rep. Ceko yang menjadi juara grup A.
Jangankan rakyat Islandia, pelatihnya pun, Lars Lagerback (68), terheran-heran Islandia bisa lolos Piala Eropa 2016. “Saya masih tak percaya kami lolos. Sekarang kenyataannya kami ada di sana, dan saya pikir kami bisa memberikan tekanan pada para pesaing. Saya berharap para pemain dalam kondisi fit,” ujar Lagerback, pelatih asal Swedia yang pernah melatih timnas Swedia di Piala Dunia 2002 dan Euro 2004 serta Piala Dunia 2006.
Tak hanya itu saja. Kapten tim Islandia juga merasa seolah dalam mimpi bisa lolos ke Piala Eropa. “Ini luar biasa, saya tidak menyangka. Kami bekerja keras untuk bisa berada di posisi ini. Menjadi tim Islandia pertama yang lolos ke putaran final. Ketika saya bermain sepak bola, saya bahkan tidak memimpikannya,” ujar Aron Gunnarsson.
Islandia seolah memperlihatkan semangat bangsa Viking, nenek moyangnya, selain di negara-negara Skandinavia. Memang, Iceland atau Islandia adalah salah satu peninggalan sejarah terbesar bangsa Viking. Bahkan, ditengarai, Islandia merupakan basis bagi bangsa Viking sebelum menginvasi Greenland dan Amerika Utara.
Bangsa Viking amat percaya bahwa dewa perang mereka “Odin”, sangat hebat dan suka berperang. Mereka juga membanggakan diri dengan keberaniannya saat bertempur. Dengan berjalan kaki sembari membawa pedang, tombak dan kapak, mereka tak gentar menghadapi lawan. Untuk memimpin serangan, mereka memiliki pasukan “pengejut” yang disebut “berserker”, yang berdiri di barisan depan.
“Berserker” adalah bangsa Norse, dengan ciri khas tanpa mengenakan baju perang besi, tampang bengis dan tubuh kekar, serta sifatnya yang brutal, sadis. Sebelum berperang, mereka mabuk dulu agar menjadi gila saat bertempur, serta mempercayakan sepenuhnya pada “Odin”, agar tetap selamat.
Bangsa Viking memiliki karakter yang keras, ambisius, berani dan tak kenal menyerah. Mereka berpetualang menaklukan berbagai wilayah. Bahkan, sekitar tahuh 851 M, hampir seluruh wilayah Inggris dikuasainya.
Pada abad ke-9, bangsa Viking bermigrasi dan tinggal di Islandia. Adalah Flóki Vilgerðarson, orang Viking pertama yang memberi nama Islandia, yang dipakai hingga sekarang. Sedangkan Ingólfur Arnarson, kepala suku dari Norwegia, tinggal dan menetap di barat daya Islandia dan mendirikan kota Reykjavik, ibu kota Islandia sekarang.
Namun, punahnya kekuatan Viking, telah mengubah pandangan dan budaya generasi penerusnya, terutama di Islandia. Mereka kehilangan hasrat berperang, dan mengalihkan kehidupannya lebih bersahaja, menjadi lebih “soft” dengan menjadi petani dan pedagang. Kegemaran rakyat Islandia membaca buku, juga menjadi salah satu faktor penyebab. Hampir 90% rakyat Islandia gemar baca buku. Kini, mereka menjadi santun dan memelihara attitude yang baik dalam menyelami pergaulan dan lingkungannya.
Makanya, tak heran jika heboh “Panama Papers” memakan korban pertama adalah Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson yang mengundurkan diri dari jabatannya, lantaran ia dan istrinya Anna Sigurlaug Palsdottir tercantum dalam ‘Panama Papers’ sebagai orang yang bermasalah dengan pajak.
Memang, Islandia lolos berkat kerja keras. Tak ada kesuksesan yang bisa diraih tanpa kerja keras. Itulah kata kunci yang dipegang pemain-pemain Islandia. Para pemain Islandia seolah mengadopsi semangat bangsa Viking di lapangan hijau. Mereka ambisius, tak kenal menyerah, dan selalu bekerja keras, di samping memiliki attitude yang baik tentunya, sebagaimana prinsip yang dipegang sebagian besar rakyat Islandia berpenduduk 300 ribu jiwa yang tak punya tentara ini.
Henning Berg, mantan bek Manchester United yang melatih Lynn FC (Norwegia), pernah menangani beberapa pemain Islandia. “Mereka mempunyai mental yang sangat hebat,” katanya. “Mereka selalu berusaha mengeluarkan performa terbaik, bekerja keras saat latihan, dan memiliki mental yang kuat. Mereka adalah pemain profesional yang bisa mengatasi segala tekanan,” lanjutnya.
Pemain-pemain Islandia telah disuntik mental kemenangan. Bahkan sebelum melawan Belanda di Amsterdam, tim ini sudah dipersiapkan untuk menang. Makanya, tak berlebihan jika mereka bertanding layaknya Viking, dengan kegilaan “Bersikers”, meski tidak menjadi sadis dan brutal.
Meski tanpa pemain bintang, mereka bermain tanpa gentar, pantang menyerah. Kalau toh ada pemain bintang yang jadi panutan, itu hanya ada pada diri Eidur Gudjohnsen, striker veteran berusia 37 tahun. Hanya saja, ia telah gaek. Lagersback memang menyertakannya. Ia dijadikan semacam roh kekuatan pemain-pemain muda Islandia, sekalipun berada di bangku cadangan.
Gudjohnsen memang menjadi idola dan tokoh mimpi pemain-pemain muda Islandia. Maklumlah, ia merupakan satu-satunya orang Islandia yang pernah bermain di klub-klub elit dunia, seperti Chelsea, Barcelona, PSV Eindhoven, Tottenham Hotspur, dan kini di klub Molde (Norwegia) sepulangnya berpetualang dari klub China, Shijiazhuang Ever Bright.
Adalah duet pelatih, Lars Lagerback dan Heimir Hallgrímsson yang mampu mengeksploitasi potensi dan mental para pemain Islandia. Dengan mengandalkan strategi 4-4-2 klasik, mereka menuntut para pemainnya rajin menekan lawan, termasuk pemain depan, tanpa lelah. Lagerback memang konvensional, ia tak mau mencoba formasi modern pengembangan 4-4-2. Ia tetap mengandalkan 4-4-2 klasik, yang menuntut dua pemain sayap rajin menelusuri areal flank, untuk memberikan umpan-umpan lambung, dan sekali-sekali mereka menyusup ke jantung pertahanan lawan untuk melakukan tembakan ke gawang lawan.
Serangan balik yang cepat, juga menjadi andalan. Islandia bermain layaknya Leicester City yang mampu menjuarai Liga Premiere hanya bermodal 4-4-2 klasik, strategi yang sudah banyak ditinggalkan pelatih-pelatih elit Eropa. Lagerback, maupun Claudio Ranieri (Leicester City), percaya gaya 4-4-2 klasik masih mampu diandalkan untuk menggasak lawan-lawan mereka.
Memang, dalam strateginya, Lagerback masih mempercayakan para pemain yang bermain di klub-klub di luar Islandia. Kiper dipercayakan pada Hannes Halldorsson (32 th, Bodo/Glimt, Norwegia), di barisan belakang tengah (centre back) dijaga Ragnar Sigurdsson (29, Krasnodar, Rusia) dan Kari Arnason (33, Malmö, Swedia), untuk left back diisi Ari Skulason (29, Odense Boldklub/OB, Denmark) dan right back oleh Birkir Saevarsson (31, Hammarby, Swedia). Hanya saja, satu-satunya pemain dari klub elit, yakni Hjortur Hermannsson (21, PSV Eindhoven yang dipinjamkan ke IFK Göteborg, Swedia) masih harus berjuang mendapatkan tempat.
Di barisan tengah, left midfielder dipercayakan kepada Emil Hallfredsson (31) yang kini bermain di Udinese setelah pindah dari Hellas Verona dan pernah di Tottenham Hotspur (2005-2007), sedangkan right midfielder diisi Birkir Bjarnason (28, Basel, Swiss). Untuk dua centre midfielder dikuasai Gylfi Sigurdsson (27) pemain Swansea City yang pernah di Tottenham Hotspur (2012-2014) dan Aron Gunnarsson (27, Cardiff City, Wales) yang juga kapten tim.
Pusat permainan Islanda ada pada dua pemain, yakni Gylfi Sigurdsson dan sang kapten Aron Gunnarsson. Keduanya gelandang serang. Namun, untuk urusan bertahan, Gunnarsson juga bisa diandalkan, karena memiliki kemampuan sebagai double pivot.
Catatan khusus ditempatkan pada Gylfi Sigurdsson, gelandang serang ini cukup berbahaya. Ia pandai memanfaatkan ruang, kreatif bergerak dan punya kemampuan tendangan keras dan terarah. Sigurdsson beberapa kali mencetak gol melalui tendangan bebas langsung ke gawang ketika bermain bersama Swensea City. Karena itu, Islandia juga memiliki peluang mencetak gol melalui set piece.
Dua penyerang andalan jadi milik Kolbeinn Sigthorsson (26, Nantes, Prancis) yang pernah bermain di Ajax (2011-2015), dan Jon Dadi Bodvarsson (24, Kaiserslautern, Jerman), sedangkan veteran Eidur Gudjohnsen (37, Molde) dipersiapkan menggantikan salah satunya. Hanya Alfred Finnbogason (27, Augsburg, Jerman) yang menjadi pelapis ketiga.
Keberhasilan Islandia tak terlepas dari attitude para pemainnya. Pemain Islandia dikenal memiliki kemampuan adaptasi yang baik ketika bermain untuk klub luar Islandia. Karena mereka tidak sombong, sikap yang baik dan respek pada bos, membuat pelatih pun mudah memberikan instruksinya sesuai strategi yang diinginkannya.
PSSI belajarlah dari Islandia
PSSI patut merenung dan belajar dari Islandia. Kesuksesan Islandia bukan instan, tapi program yang sudah dipersiapkan lama. Salah satu kunci kesuksesan Islandia adalah pelatihnya, yakni Lars Lagerback. Sekalipun di tangan Lagerback, Islandia sempat tampil buruk, namun ia tetap diberi kesempatan jangka panjang oleh KSI (PSSI-nya Islandia) untuk membangun fondasi yang kuat timnas Islandia sejak 2011.
Namun, jauh sebelum itu, KSI (Knattspyrnusamband Íslands) juga telah menemukan solusi membangun infrastruktur lapangan indoor. Maklum, di Islandia iklimnya sangat dingin. Temperatur rata-rata 0 hingga -10 celcius. Bahkan pada Desember bisa mencapai -25 hingga -30 celcius, dan suhu terendah pernah hingga -39 celcius! Klub-klub pun tak keberatan berinvestasi membangun lapangan indoor karena mengetahui manfaatnya.
Setelah itu, KSI meningkatkan kualitas pelatih lokal. Pada 2002, Islandia hanya memiliki 147 pelatih. Setahun kemudian, KSI meminta kepada UEFA untuk bisa menyelenggarakan pelatihan lisensi UEFA B di Islandia. UEFA pun setuju. Tapi, untuk bisa ikut kepelatihan lisensi UEFA B, setiap pelatih wajib menyelesaikan 4 program kepelatihan KSI B, KSI level I hingga IV terlebih dahulu.
Pada 2005, KSI mampu menyelenggarakan pelatihan lisensi UEFA A. Namun, pelatih yang ingin mengikuti pelatihan lisensi UEFA A, terlebih dahulu wajib menyelesaikan KSI A, KSI level V hingga VII. Pelatihan KSI level I hingga VII adalah seminar kepelatihan yang diselenggarakan setiap tahun oleh KSI.
Yang menarik (dan tidak pernah ditiru PSSI), KSI tidak mencari keuntungan pada program-program yang diselenggarakan KSI. KSI menetapkan biaya semurah mungkin bagi peserta. Hasilnya? Pelatih berkualitas pun semakin bermunculan dari tahun ke tahun. Karena mereka berlomba-lomba meningkatkan kualitas kepelatihannya.
Hanya dalam tempo 10 tahun, dari 2002 hingga 2012, Islandia yang semula hanya memiliki 147 pelatih menjadi 520 pelatih berlisensi UEFA B dan 165 pelatih berlisensi UEFA A, serta 9 pelatih ber lisensi UEFA Pro. Jumlah ini bakal terus bertambah. Karena KSI membuat aturan pelatih kepala yang menangani klub harus berlisensi UEFA A dan asisten pelatih UEFA B, sedangkan pelatih akademi muda wajib berlisensi UEFA A.
Meskipun di Islandia hanya memiliki 75 klub dari segala divisi, tapi para pelatih itu mampu melahirkan pemain-pemain muda Islandia berpotensi yang nantinya siap bermain di klub-klub Eropa.
Kini Lagerback dan para anak asuhannya memapakan kaki ke Piala Eropa 2016 di Perancis. Islandia berada di grup F bersama Portugal, Austria, dan Hungaria. Kans untuk melaju ke babak selanjutnya jelas terbuka. Tinggal bagaimana Lagerback bisa meracik strategi yang tepat disesuaikan dengan kemampuan para pemainnya di saat menghadapi lawan-lawannya. (wawan tunggul alam)
twitter: @wawan609