WARTAPENA. Vox populi, vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Perumpamaan ini sungguh menyesatkan. Betapa tidak. Seandainya suara rakyat itu ternyata bisa dibeli dengan politik uang atau suara rakyat itu ternyata bisa dimanipulasi untuk memenangkan partai politik atau calon Presiden tertentu, apakah kita masih sanggup dan tega mengatakan: “Itu suara Tuhan?”
Jelas, suara Tuhan itu berbeda dengan suara rakyat. Karena belum tentu suara rakyat yang terbanyak sekalipun, adalah suatu kebenaran. Sementara suara Tuhan, tentunya adalah yang paling benar, karena Tuhan Maha Benar.
Bahwa pernyataan: suara terbanyak itu, pasti merupakan cerminan pilihan yang paling tepat; jelas tidak benar. Bahwa demokrasi berdasarkan suara terbanyak, yang dalam konteks pemilu kita diimplementasikan dengan pemilihan langsung Presiden, Gubernur, Bupati, adalah sistem yang paling baik; tentu juga bisa dikatakan tidak sepenuhnya benar.
Untuk itu, nampaknya kita perlu memetik sebuah pelajaran berguna dari sejarah Khalifah Ali bin Abi Tahlib ra. Khususnya berkait dengan demokrasi, dan para pendengung yang mengatakan: “vox populi, vox dei”.
Sejarah mencatat, Perang Shiffin sedang berkecamuk hebat. Bayangan kemenangan tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib atas tentara Mu’awiyah sudah terlihat. Tapi, tiba-tiba, dari pihak tentara Mu’awiyah yang terdesak mengangkat Al Qur’an sembari berteriak, “Inilah Kitab Allah yang harus menyelesaikan persengketaan kita!”
Tak pelak, banyak tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib terpesona oleh teriakan itu. Sebagian besar dari mereka (suara terbanyak) mendesak Khalifah Ali untuk menghentikan pertempuran, meski kemenangan sudah di depan mata. Khalifah Ali bin Thalib ra sebagai seorang politikus dan ahli strategi, semula tak mau menghentikan pertempuran. Tapi, sebagian besar tentaranya memaksanya, bahkan berkata, “Mereka memanggil kita untuk berhukum dengan Kitab Allah, dan engkau masih mau berhukum dengan pedang?” Kata-kata ini terlalu menusuk perasaan Khalifah Ali. Dan, lantara terpengaruh “suara terbanyak”, menyebabkan Khalifah Ali mengalah serta mengubah pendiriannya untuk menghentikan pertempuran.
Setelah itu dilakukan perundingan. Diputuskanlah bahwa setiap pihak harus menunjuk seorang hakam untuk menyelesaikan persoalan kekhalifahan itu. Dari pihak Mu’awiyah (ahli Syam) telah diputuskan ‘Amr ibn ‘Ash. Sedangkan dari sebagian besar pengikut Khalifah Ali (suara terbanyak) mengajukan Abu Musa al-Asy’ari (ahli Irak). Sebetulnya, Khalifah Ali tidak setuju dengan pilihan suara terbanyak dari pengikutnya itu. Akan tetapi, mereka tidak mau mendengar Khalifah Ali karena mayoritas menghendaki Abu Musa. Melihat pilihan yang salah ini, Khalifah Ali mengatakan, “Karena kalian tidak menerima pendapat saya tentang tahkim, dan kalian lebih setuju mengangkat Abu Musa sebagai hakam. Ia bukan orang yang amanat. Di sini ada ‘Abdullah ibn ‘Abbas, dan di sini ada Malik al-Asytar. Pilihlah seorang di antara mereka.” Tetapi, mereka tak mau mendengarkannya, dan bersikeras pada Abu Musa. Ali akhirnya mengatakan, “Nah, lakukanlah sesuka kalian. Tidak lama lagi kalian akan memakan tangan kalian sendiri karena kebatilan kalian.”
Setelah itu, kedua belah pihak melakukan perundingan, dan masing-masing menunjuk seorang negosiator. Dari pihak Khalifah Ali bin Abi Thalib (ahli Irak) ditunjuk Abu Musa Al-Asj’ari, dan dari pihak Mu’awiyah (ahli Syam) ditunjuk Amar bin Ash.
Namun, akhirnya, sebagaimana terkenal dalam sejarah, Abu Musa Al-Asj’ari kalah siasat dan terkecoh. Ini gara-gara dalam negosiasi itu ia sepakat untuk melepaskan dulu gelar Khalifah dari kedua penguasa itu: baik Ali bin Abi Thalib maupun dari Mu’awiyah, untuk kemudian diserahkan kepada kaum muslimin untuk memilih kembali Khalifahnya. Rakyat akan diberi hak memilih siapa saja yang mereka sukai. Abu Musa Al Asj’ari kemudian berdiri dengan resmi dan mencabut gelar Khalifah dari Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, ketika tiba giliran Amar bin Ash dari Mu’awiyah, maka dia malah berbuat sebaliknya bahkan dengan tegas memproklamirkan: “Oleh karena Ali bin Abi Thalib sudah dicabut kekalifahannya, maka sekarang hanya tinggal seorang Khalifah buat kaum muslim, yaitu Mu’awiyah!” Apa akibatnya? Sejarah mencatat, bahwa ummat Islam tidak pernah bersatu utuh lagi setelah itu.
Di sinilah terlihat Khalifah Ali terkecoh, karena beliau disaat yang begitu menentukan hanya tunduk kepada “suara terbanyak” yang belum tentu suara dari yang “hak” dan bukan “ahli”-nya. Bahkan, ketika para pengikut Khalifah Ali dimintai pertanggungjawabannya, mereka malah berkata: “Memang kami keliru, tetapi kenapa engkau mau menuruti kami dalam kekeliruan kami? Padahal, engkau sebagai Khalifah, seharusnya lebih jauh pandangan dan lebih teliti pemikiran dari kami.”
Begitulah sebuah pelajaran berharga yang telah diberikan sejarah. Mengapa waktu itu mereka hanya berpedoman kepada “suara terbanyak” saja? Padahal, Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan dan menyuruh musyawarah dan memimpin, bukan musyawarah sekadar cari suara terbanyak. Suara terbanyak harus mengesampingkan pendapat Ali bin Abi Thalib yang merupakan seorang Pemimpin Besar, seorang penanggung jawab, dan seorang ahli. Karena itu, demokrasi dan kebenaran bukan hanya dihitung dari “separuh plus satu, harus selalu benar”.
Agaknya, kita, rakyat, patut diingatkan bahwa dalam hal demokrasi, harus ada dua unsur yang saling isi mengisi, lengkap melengkapi, yakni: “unsur musyawarah yang menghargai Pimpinan, dan unsur Pimpinan yang menghargai musyawarah”. Dan, untuk menilai mana yang lebih berat, tergantung kepada: “dalam masalah apa, dalam situasi bagaimana dan antara siapa musyawarah itu dilakukan.”
Memang, apabila ada ikhtikaf sesama anggota permusyawaratan, sedang mereka semuanya sama kualitasnya sebagai orang-orang yang ahli untuk bermusyawarah, maka dalam keadaan demikian Rasulullah SAW telah memberikan cara penyelesaian: “Apabila kamu berbeda pendapat, maka pakailah suara yang terbanyak yang disertai yang Hak dan Ahli-nya.” Makna yang terkadung dari ucapan Rasulullah SAW ini, bahwa suara yang terbanyak semata belum cukup, tetapi harus ditekankan suara terbanyak yang bagaimana dan dari siapa: yaitu dari yang hak dan yang ahli-nya.
Dan, dalam konteks Indonesia, sebagai pengejawantahannya, Bung Karno pun mengakomodirnya dalam dasar negara kita Pancasila melalui sila Keempat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Oleh sebab itu, jika hanya mendengarkan suara terbanyak (voting) semata-mata tanpa melihat yang hak dan yang ahli maka bisa menjerumuskan kepada bahaya dan kesesatan. Hal ini sebagaimana diperingatkan oleh Allah SWT dengan Firman-Nya di dalam Al Qur’an surat Al-An’aam ayat 116: “Jikalau engkau turutkan golongan yang terbanyak di muka bumi ini, tentulah mereka menyesatkan engkau dari jalan Allah. Mereka hanya menurutkan purbasangka belaka, dan mereka hanya membuat kebohongan semata-mata.” (wta)