Banyak bukti menunjukkan bahwa sistem informasi telah memberikan sumbangan besar bagi banyak organisasi maupun individu dalam menjalankan segala aktivitasnya. Contoh sederhana untuk ini, yang tentunya juga sering kita alami sehari-hari, adalah pemanfaatan mesin ATM (Automated Teller Machine, yang oleh orang Indonesia diartikan Anjungan Tunai Mandiri)
Seperti yang diceritakan John Naisbitt. “Saya sedang di Paris, saat itu hari sudah larut malam, dan saya membutuhkan uang, dengan cepat. Bank yang saya datangi tentu saja sudah tutup, tetapi di luar ada ATM, dan lihat apa yang terjadi, berkat komputer dan telekomunikasi berkecepatan tinggi.” Naisbitt pun melanjutkan ceritanya, “Saya masukkan kartu ATM saya dari bank saya di Washington DC. dan menekan nomor identifikasi saya dan jumlah 1.500 franc, kira-kira sama dengan $300. Komputer bank Prancis mendeteksi bahwa itu bukan kartu mereka, maka permintaan saya dialihkan ke pusat penghubung antarnegara Eropa dari sistem CIRRUS di Belgia, yang mendeteksi bahwa itu bukan kartu Eropa. Pesan elektronik tersebut kemudian diteruskan ke pusat penghubung global di Detroit, yang mengenali bahwa kartu ini dari bank saya di Washington. Permintaan ditujukan ke sana, dan bank saya memverifikasi bahwa ada lebih dari $300 di dalam rekening saya dan mengurangi $300 ditambah biaya $1,50. Lalu, pesan itu kembali ke Detroit, ke Belgia, dan ke bank Paris dan ATM-nya, dan keluarlah $300 dalam franc Prancis. Waktu total yang dibutuhkan: 16 detik!”
Bayangkan kecanggihan dan manfaat sistem informasi itu? Tidak hanya memberikan sumbangan bagi aktivitas manusia, tapi juga memperlihatkan atau membuktikan begitu cepatnya mengkoneksikan informasi dari antarbenua, bahkan keliling dunia, hanya dalam tempo hitungan detik!
Sistem informasi modern juga telah memungkinkan dan mendorong kerja sama dengan berbagai pihak, baik di antara para peneliti akademis, perusahaan, bahkan negara sekalipun. Tentu saja kita tidak pernah membayangkan sebelumnya, bagaimana seorang peneliti akademis di Indonesia, misalnya, cukup hanya duduk di depan komputer yang terkoneksi dengan modem, melalui jaringan internet atau telekomputer, dapat menjelajah dunia tanpa batas untuk mencari bahan-bahan riset yang diperlukan. Bahkan, melalui jaringan internet, ia dapat mengakses atau mengirimkannya kembali bahan-bahan riset yang didapat itu kepada koleganya yang lain di Amerika, misalnya. Bayangkan, perjalanan menjelajah dunia untuk saling bertukar informasi itu dapat dilakukan hanya dalam hitungan menit! Bahkan, ia telah mendapatkan data-data yang diperlukan dari segala penjuru dunia tanpa harus terlebih dahulu pergi jauh ke negara lain untuk mencarinya. Berapa besar penghematan biaya yang telah dilakukan?
Ada pula kisah menarik lainnya, di mana sebuah perusahaan obat di Indonesia memerlukan bahan baku obat, yang menurut informasi sementara bahan-bahan itu yang paling berkualitas ada di negara-negara di Amerika Latin. Berangkatlah sekelompok orang mencari bahan-bahan tersebut ke beberapa negara di Amerika Latin. Tapi, ternyata, hasilnya nihil karena bahan baku yang ada itu kurang berkualitas. Salah seorang karyawannya di Indonesia kemudian menjelajah internet, mencari data-data. Dan ternyata? Bahan-bahan yang berkualitas itu justru ada di Pulau Jawa! Bayangkan, berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan perusahaan untuk riset ke negeri orang tanpa pernah memanfaatkan sistem informasi yang dipunyai sebelumnya?
Apa makna dari contoh kasus sederhana ini? Suatu bukti, bahwa pemanfaatan sistem informasi yang benar itu akan memiliki nilai ekonomis, efisiensi dan efektif atas investasi yang telah dilakukan (organisasi). Tentu saja, sepanjang kita memang benar-benar memahaminya.
Sistem informasi memang merupakan “senjata” yang hebat, sekalipun bagi perusahaan kecil dalam mengambil keuntungan dari perusahaan-perusahaan besar. Dengan penguasaan sistem informasi, perusahaan kecil ternyata dapat melakukan inovasi lebih cepat, bukan hanya dalam melahirkan produknya, tetapi juga dalam operasi internal.
Setidaknya, hal ini dirasakan benar oleh Vittorio Merloni, seorang pengusaha Italia. Perusahaan Merloni memproduksi semua mesin cuci, kulkas, dan peralatan rumah tangga penting lainnya, dan berhasil menguasai 10% pasar Eropa. Pesaing utamanya adalah Electrolux dari Swedia dan Phillips dari Belanda. Dalam menghadapi pesaing raksasa itu, menurut Merloni, sekarang ini ia hanya membutuhkan penambahan sedikit modal untuk melakukan hal yang sama yang di masa lalu membutuhkan lebih banyak modal. Alasannya, dengan teknologi berbasis ilmu akan mengurangi modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan alat pencuci piring, kompor gas, atau vacuum cleaner. Dengan begitu, informasi telah menggantikan inventori berbiaya tinggi. Dengan mempercepat respon pabrik terhadap pasar dan menyebarkan produk dengan lebih ekonomis, dan dengan informasi yang lebih baik dan lebih cepat, telah menyebabkan berkurangnya jumlah komponen dan produk jadi yang tersimpan di gudang-gudang. Bahkan, sampai pada suatu titik, ternyata Merloni telah memotong 60% dari biaya inventorinya. Dan, kasus Merloni ini ternyata ditiru oleh setiap perusahaan besar di Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman, karena pengiriman perangkat yang tepat waktu, dengan berbasis informasi komputer.
Selanjutnya Merloni mengatakan, meskipun biaya awal yang mungkin tinggi dalam hal pengadaan komputer, perangkat lunak, informasi, dan telekomunikasi, namun penghematan secara keseluruhan menunjukkan bahwa perusahaannya membutuhkan modal yang lebih sedikit untuk melakukan pekerjaan sama yang dilakukannya pada masa silam (dan yang terpenting adalah hasil atau output yang didapat dari pemanfaatan sistem informasi itu, bahwa ternyata ia telah meraih keuntungan besar di tengah pesaing raksasa yang dihadapinya).
Dari melihat kasus ini, dengan penerapan sistem informasi, setidaknya dengan modal pengetahuan telah mengurangi beban kebutuhan akan bahan baku, tenaga kerja, ruang, waktu, modal, dan input-input lain. Dan, memang begitulah era ekonomi modern berlaku. Apa yang telah dialami Merloni merupakan salah satu bukti lagi, bahwa pemanfaatan yang benar terhadap sistem informasi memiliki nilai ekonomis dan efisiensi. Pada akhirnya, meski pengadaan sistem informasi itu pada mulanya terasa mahal, namun dengan melihat jauh ke depan, kontribusinya ternyata memungkinkan kita untuk melakukan penghematan-penghematan dan mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang dahulu terasa sangat vital – meski tentunya kontribusi pengadaan sistem informasi bukan hanya untuk peningkatan penghematan biaya.
Namun, pemanfaatan sistem informasi sebagai “senjata”, nyatanya juga bukan hanya sekadar untuk menjadi lebih ekonomis, efisien, dan meningkatkan kemajuan, akan tetapi juga mampu menciptakan “kekuasaan” dan memenangkan pertempuran! Tak percaya? Kisah ini menggambarkan bagaimana sistem informasi telah berguna sebagai “senjata” bagi perusahaan-perusahaan kecil melawan perusahaan besar.
Pada pertengahan tahun 1960-an, para pengecer yang memasok supermarket tak kuasa melawan pabrikan besar. Mereka kemudian membentuk kepanitiaan, terdiri dari: pengecer, grosir dan pabrikan bahan makanan, dan selanjutnya bertemu dengan perusahaan-perusahaan IBM, National Cash Register, dan Sweda guna membicarakan dua persoalan umum supermarket, yaitu: deretan antrian panjang dan kesalahan dalam akunting. Pertanyaan mereka: tidak dapatkah teknologi digunakan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini?
Hasilnya, ternyata produk-produk mereka (para pengusaha kecil itu) dimodifikasi dan diberi kode-kode agar teknologi scanning secara otomatis dapat membacanya. Perusahaan komputer tentu saja senang karena merasa ada celah pasar baru yang besar bekerjasama dengan para pengecer. Maka, pada 3 April 1973, panitia itu bersepakat atas kode standar tunggal bagi industri mereka. Hasilnya adalah apa yang sekarang dikenal sebagai “Universal Product Code” (Kode Produk Universal atau “kode lempeng” (garis-garis dan angka hitam yang berkilauan yang terdapat di segala benda), dan lintasan cepat dari scanning optis untuk membacanya. Kode inilah yang sekarang dikenal dengan barcode.
Lalu, bagaimana makna “senjata” sistem informasi itu telah dimanfaatkan perusahaan kecil (pengecer) dalam melawan pabrikan besar? Bahwa, pada akhirnya para pengusaha pengecer itu mampu menggeser kekuasaan pabrikan besar karena produk-produk merekalah yang justru mudah tersebar di rak-rak supermarket, dengan ribuan produk baru yang siap mengganti produk lama. Bahkan, cara ini telah banyak membantu para manajer supermarket guna memutuskan berapa banyak rak harus disediakan, untuk produk apa, dan kapan harus dilakukan. Itu artinya, kekuasaan telah bergeser kepada pengecer yang mampu mengikuti alur seluruh barang ini. Bukan main!