Wartapena, Jakarta – Di tengah kelesuan ekonomi, pesimisme mikro, dan fenomena disruption, ada 128 perusahaan go public non-keuangan dan non-BUMN yang berhasil tumbuh positif dalam lima tahun terakhir, dari tahun 2012 hingga 2016. Ke-128 emiten tersebut masih mampu memperoleh laba dengan pertumbuhan double digit. Bahkan, ada 11 emiten dengan pertumbuhan laba selama lima tahun terakhir di atas 1.000%.
Munculnya 128 emiten dengan pertumbuhan spektakuler tersebut merupakan hasil kajian Biro Riset Infobank (birI) terhadap 355 emiten dari total 537 emiten yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ada 182 emiten yang tidak dikaji karena empat pertimbangan; (1) masa listing atau relisting baru empat tahun (2013-2016), (2) tidak melakukan publikasi laporan keuangan 2016 di BEI hingga 31 Agustus 2017, (3) data laporan keuangan tidak lengkap, dan (4) berstatus emiten keuangan dan emiten BUMN.
Dari 355 perusahaan yang dikaji, ada 105 perusahaan yang rapor labanya memerah per Desember 2016, sehingga gugur di kajian awal. Dan dari 250 perusahaan yang melewati kajian lanjut, tersaring 128 perusahaan dengan catatan pertumbuhan tercepat sesuai metodologi yang digunakan Infobank. “Ke-128 emiten ini berhasil mencatatkan pertumbuhan tercepat dalam lima tahun terakhir dengan pertumbuhan laba double digit,” ujar Eko B. Supriyanto, Direktur Biro Riset Infobank, di Bursa Efek Indonesia, Kamis, 25 Januari 2018.
Pada event “Infobank 100 Fastest Growing Companies Awards 2017” yang merupakan event kedua ini, Infobank hanya memberikan awards kepada 100 emiten dengan pertumbuhan tercepat. Ke-100 emiten ini dibagi dalam delapan kategori berdasarkan sektor, yakni (1) sektor pertanian, (2) sektor pertambangan, (3) sektor industri dasar dan kimia, (4) sektor aneka industri, (5) sektor industri barang konsumsi, (6) sektor properti, real estate, dan konstruksi bangunan, (7) sektor infrastruktur, utilitas, dan transportasi, serta (8) sektor perdagangan, jasa-jasa, dan investasi.
“Berhasil tumbuh dengan mencetak laba positif di tengah tekanan kelesuan ekonomi, pesimisme mikro, dan gempuran disruption adalah prestasi yang layak diapresiasi,” tegas Eko B. Supriyanto.
Dinosaur Phenomenon
Menurut kajian Biro Riset Infobank, keberhasilan 128 emiten tetap tumbuh dalam lima tahun terakhir tak lepas dari keberhasilan manajemen dalam melakukan transformasi. Mereka terus melakukan inovasi dengan mengubah cara berjualan dan meninggalkan cara-cara lama, menghadirkan produk-produk baru, serta menyasar klien-klien baru.
“Perusahaan juga harus melakukan efisiensi untuk bisa mengikuti persaingan. Perusahaan yang tidak efisien akan hancur dari dalam, selain karena persaingan,” ujar Eko B. Supriyanto.
Biro Riset Infobank merekomendasikan, ada empat pendekatan yang bisa dilakukan emiten agar bisa survive, sustain, dan growth. Pertama, perusahaan harus melakukan sharing, bekerjasama atau berdamai dengan teknologi. “Fintech (financial technology) bukan musuh. Mereka harus digandeng,” saran Eko.
Kedua, perusahaan harus mulai menggunakan data analitik. Dengan data analitik ini, plan perusahaan ke depan lebih jelas target yang akan dicapai dan strategi pencapaiannya. Ketiga, perusahaan harus focus on customer. “Perusahaan harus selalu berpikir apa yang saat ini dibutuhkan oleh customer, bukan memaksa customer untuk memahami produk yang kita buat,” ujarnya.
Keempat, perusahaan harus menggunakan data digital untuk komunikasi dan branding value. Era media sosial (medsos) harus benar-benar dimanfaatkan untuk jejaring komukasi secara efektif dan efisien.
“Kalau perusahaan tidak bisa menyesuaikan diri dengan empat pendekatan tersebut, jangan kaget kalau suatu saat nanti akan menjadi ‘dinosaurus’. Belajar dari dinosaur phenomenon, untuk bisa bertahan tidak cukup mengandalkan nama besar dan kekuatan permodalan, tapi juga harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang telah berubah,” tutup Eko.