Wawan Tunggul Alam
Ketika Akil Mochtar, mantan ketua MK, mengajukan uji materi beberapa pasal UU No.8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) ke Mahkamah Konstitusi, rame-rame para penggiat korupsi, termasuk pihak-pihak yang memanfaatkan situasi, belum-belum sudah meminta agar tidak dikabulkan uji materi UU TPPU. Padahal, mereka tak menyadari betapa bahayanya jika UU TPPU yang konon produk “bule” itu diberlakukan.
Penolakan para pihak terhadap uji materi UU TPPU itu hanya sekadar melihat siapa yang mengajukan uji materi itu yakni Akil Mochtar, akan tetapi tidak lagi melihat substansi UU TPPU yang boleh dibilang: ngawur.
Padahal, sahabat nabi Muhammad SAW yakni Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Jangan melihat siapa yang berbicara, tapi lihatlah apa yang dibicarakan,” seharusnya kita pun dengan bijak patut melihat apa substansi UU TPPU yang diuji materi, bukannya sudah apriori lantaran Akil Mochtar yang mengajukannya.
Jika kita telaah dengan berdasarkan ilmu hukum, maka akan terlihat betapa kacaunya UU TPPU itu diberlakukan. Beberapa Pasal yang ngawur diterapkan di antaranya:
“Predicate Crime” Tidak Perlu Dibuktikan
Ketentuan Pasal 69 junto Pasal 95 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU adalah memperlihatkan kengawuran UU TPPU. Betapa tidak. Pasal 69 menyatakan: “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”
Padahal, di seluruh dunia, ketentuan yang berlaku secara universal mengenai prinsip dasar tindak pidana pencucian uang adalah: tindak pidana pencucian uang itu sebagai suatu kejahatan yang mempunyai ciri khas bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate crime yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian uang. Oleh sebab itu, prinsip universal dari tindak pidana pencucian uang adalah: “tidak ada pencucian uang tanpa kejahatan asal” atau “no money laundering without predicate offence”. Oleh karena itu, tindak pidana asal (predicate offence, predicate crime) sebagai salah satu unsur tindak pidana pencucian uang itu harus dibuktikan terlebih dahulu.
Dengan demikian, pengertian tindak pidana pencucian uang itu sesungguhnya adalah tindak pidana yang keberadaannya baru terjadi setelah adanya tindak pidana yang mendahuluinya atau yang disebut tindak pidana asal sebagaimana yang telah ditegaskan pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU, seperti halnya: korupsi, narkoba, dll. Dari tindak pidana asal (predicate crime) itulah diperoleh harta kekayaan yang oleh Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 disebut sebagai “hasil tindak pidana”, atau yang disebut sebagai hasil kejahatan (criminal proceeds).
Hasil tindak pidana atau hasil kejahatan (criminal proceeds) inilah yang kemudian “dicuci” seolah-olah merupakan harta kekayaan yang diperoleh secara sah (legal), sehingga terjadilah tindak pidana pencucian uang (money laundering). Jadi, tindak pidana pencucian uang itu sebagai tindak pidana ikutan (underlying crime) yang baru ada atau baru terjadi apabila sebelumnya sudah ada tindak pidana asal atau sudah ada predicate crime. Atau, secara gampangnya, tindak pidana pencucian uang itu dari uang tidak halal dicuci menjadi uang halal.
Apabila tidak ada diperoleh uang atau harta kekayaan sebagai hasil tindak pidana, maka tidak ada uang yang “dicuci” dalam transaksi keuangan atau diinvestasikan dalam suatu bisnis yang legal, sehingga tidak ada tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian, kedudukan tindak pidana asal (predicate crime) sangat penting dan merupakan causa (sebab) yang adequaat (memadai) untuk terjadinya akibat berupa tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana asal (predicate crime) yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
Bahwa tindak pidana asal (predicate crime) tetap dapat terjadi meskipun tidak diikuti oleh tindak pidana pencucian uang; akan tetapi tindak pidana pencucian uang tidak akan terjadi jika tidak didahului oleh suatu tindak pidana asal (predicate crime).
Akibat dari penerapan Pasal 69 UU TPPU itu, yang menyatakan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, maka eksesnya hakim di dalam menjatuhkan putusan berbunyi: PATUT DIDUGA MERUPAKAN HASIL TINDAK PIDANA dalam memutus perkara-perkara korupsi.
Padahal, yang namanya putusan hakim itu di seluruh dunia (berlaku universal) haruslah: TERBUKTI atau TIDAK TERBUKTI BERSALAH, dan tidak boleh ada putusan hakim berbunyi PATUT DIDUGA.
Putusan hakim yang amarnya berbunyi: “Patut Diduga Bersalah” adalah putusan yang aneh dan ganjil dan suatu anomaly dari prinsip kepastian hokum dan keadilan. Mengapa? Karena Pengadilan adalah tempat menguji alat bukti dari perkara yang diajukan, sehingga putusannaya harus mengandung kepastian hukum.
Putusan hakim yang menyebut “Patut Diduga Bersalah” adalah putusan yang menyimpang dan salah secara hukum, karena mengandung ketidakadilan, mengandung ketidakpastian hukum, dan melanggar ketentuan yang diamanatkan sumber hukum tertinggi konstitusi Republik Indonesia: UUD’45 hasil amandemen, yakni khususnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menghendaki adanya kepastian hukum dan keadilan.
Bahwa untuk mewujudkan persamaan dan perlindungan hukum, setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum tersebut melalui proses hukum yang dijalankan oleh aparat penegak hukum, khususnya pelaku kekuasaan kehakiman. Oleh sebab itu, semua warganegara yang diadili sejatinya juga harus mendapatkan akses terhadap keadilan; di mana semangat untuk mengadili dan menghukum itu tetap harus dengan jalur atau koridor hukum yang benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan bukan karena opini yang sudah terbentuk, apalagi dengan menghalalkan segala cara asalkan tujuannya tercapai. (wta)